10 Tuntutan FPR Bantaeng dalam Unjuk Rasa Peringatan Hari Tani 2021

BANTAENG, KUMANIKA.com– FPR (Front Perjuangan Rakyat) merupakan bagian dari gerakan Global People Summit (GPS), sebuah wadah perlawanan rakyat global untuk memperjuangkan kedaulatan pangan yang adil, merata, sehat dan berkelanjutan.
Menyambut peringatan Hari Tani tahun 2021 ini, mereka melakukan aksi kampanye global FPR di seluruh Indonesia, untuk menyikapi pertemuan tingkat tinggi United Nation-Food Sistem Summit (UN-FSS) PBB.
Di Kabupaten Bantaeng, anggota FPR membagikan selebaran berisi pernyataan sikap. Aksi tersebut dilakukan di Jalan Raya Andi Mannapiang, tepatnya di depan kantor Bupati Bantaeng, Kamis (23/09/2021) lalu. Mereka juga melakukan unjuk rasa di Jalan Sungai Bialo, Lembang, atau di depan Polres Bantaeng.
“Jalankan Land Reform Sejati untuk Mengakhiri laten Kemiskinan dan Keterbelakangan Bangsa dan Rakyat Selamanya. Dan untuk mengakhiri Dominasi Imperialisme yang Melestarikan Sistem Kekuasaan Setengah jajahan dan Pemerintahan Boneka yang Korup, tidak Kompoten dan Anti Rayat, Mempermalukan, Menghina, Membodohi Bangsa dan Rakyat Indonesia,” demikian bunyi pernyataan yang tertuang dalam selebaran tersebut.
Di depan Kantor Bupati, para pimpinan lembaga dalam FPR Bantaeng secara bergantian menyampaikan orasi dan kritik.
Saleh, perwakilan dari Aliansi Reforma Agraria (AGRA) Bantaeng, menyampaikan bahwa Pemerintah Kabupaten Bantaeng telah gagal dalam melihat persoalan pokok yang dihadapi oleh kaum tani. Misalnya dalam menjawab kelangkaan pupuk bersubsidi, mereka hanya memberikan solusi instan, yakni dengan menyiapkan anggaran Rp3 milyar setiap tahun untuk menutupi kelangkaan pupuk.
Padahal, menurut Saleh, persoalan lain seperti penyiapan data Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK), perbaikan kelembagaan petani, kepastian harga, ketersediaan lahan, dan tingginya biaya produksi masih menjadi masalah yang luput dari perhatian pemerintah.
Selain untuk kampanye nasional dan global, FPR Bantaeng juga mengangkat beberapa isu lokal yang berkaitan dengan situasi kaum tani, buruh, pemuda, nelayan perempuan, dan lain-lain.
Poin-poin Tuntutan FPR
Terkait hal tersebut, mereka mengajukan 10 poin tuntutan. Secara keseluruhan, FPR meminta Pemerintah Kabupaten Bantaeng untuk memenuhi subsidi pertanian bagi kaum tani di pedesaan, mendesak PT Huadi Nickel Alloy untuk bertanggungjawab atas limbah udara, padat dan cair yang dihasilkan dari pabrik pengelolaan nikel mereka, dan mengentikan segala bentuk PHK sepihak serta memberi jaminan hidup yang layak bagi kaum Buruh.
Tuntutan lainnya antara lain medesak KP3 untuk mengawasi harga pupuk di kalangan pengecer agar tetap sesuai HET, mendesak Pemkab Bantaeng untuk berhenti melayani kepentingan perusahaan milik Imperialisme yang dianggap merampas ruang hidup rakyat, sekaligus memastikan hak-hak normatif buruh dilaksanakan oleh perusahan yang ada di wilayah Kabupaten Bantaeng.
Mereka juga menolak Perda Tata Ruang Kawasan Industri Bantaeng, meminta Land Reform Sejati diwujudkan dan membangun Indutrialisasi Nasional, menghentikan segala bentuk eksploitasi sumber daya alam, dan mendesak Pemerintah serta Polres Bantaeng untuk menangkap dan mengadili pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di bawah umur.
Selain Saleh, ada pula Fitri yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan untuk Kekerasan Seksual. Ia menyampaikan dalam orasinya bahwa kasus pemerkosaan yang dialami anak di bawah umur, di Kabupaten Bantaeng, belum juga menuai hasil setelah ditangani Polres selama tiga bulan terakhir. Fakta tersebut, menurutnya, menunjukkan buruknya kinerja kepolisian di Kabupaten Bantaeng.
Sebelumnya, massa solidaritas untuk korban kekerasan seksual rutin menggelar aksi unjuk rasa setiap hari kamis.
Setelah aksi di depan Kantor Bupati Bantaeng, massa kemudian melanjutkan ke kantor DPRD Kabupaten Bantaeng. Selain sebagai titik unjuk rasa terakhir, mereka sekaligus melakukan diskusi dengan anggota DPRD.
Diskusi dengan Anggota DPRD
Di ruan rapat DPRD, Ahmad Passollo menyampaikan seluruh tuntutan dan pernyataan aksi FPR Bantaeng. Selain itu, Ia juga meminta DPRD Bantaeng mengevaluasi dan mencabut Perda Tata Ruang Kawasan Industri Bantaeng.
Menurut Ahmad, skema kebijakan Kawasan Indsutri Bantaeng (KIBA) mendukung perampasan ruang hidup masyarakat. Rancangan tersebut juga mengeksploitasi sumber daya alam, dengan iming-iming kesejahteraan dan kesempatan kerja bagi masyarakat lokal. Mereka menuntut Pemerintah Daerah harus bertanggungjawab, karena telah ikut memberi peluang bagi investor melalui Perda.
Alih-alih berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat, lanjut Ahmad, keberadaan KIBA justru menambah beban mereka karena menciptakan polusi udara, suara bising, dan bau. Belum lagi hilangnya ruang hidup nelayan dan petani rumput laut.
Bukti lain yang dipaparkan Ahmad, bahwa di awal masa pandemi PT Huadi justru melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak terhadap 100 orang karyawan, serta mempekerjakan mereka dengan upah di bawah UMP.
Terakhir, soal kepastian nasib masyarakat di tiga desa yakni Papanloe, Baruga, dan Borongloe yang masih tinggal di dalam Kawasan Industri Bantaeng. Kata Ahmad, ini menjadi persoalan rumit yang akan dihadapi di tahun-tahun berikutnya.(**)